Kamis, 19 Juli 2018

Krisis Yunani


Siapa yang tidak mendegar tentang krisis Yunani? Negara ini baru saja mengumumkan kondisi krisis negaranya terhitung 1 Juli 2015 sejak tanggal jatuh tempo pembayaran hutang negaranya sebesar 1,6 miliar Euro. Orang awam mungkin tidak mengira bahwa sebuah negara Eropa dengan sejarah negara yang panjang mengumumkan krisis ekonomi negaranya. Krisis ini menjadi ketakutan besar bagi dunia karena Yunani merupakan salah satu anggota Uni Eropa dengan nilai tukar mata uang yang tinggi. Negara ini seakan menyambung sejarah negara-negara di dunia yang sebelumnya menyatakan diri bangkrut.




Dalam sejarahnya, Yunani adalah sebuah negara kecil di Eropa. Jika berbicara tentang Yunani, kebanyakan orang mengingat tentang sejarah peradabannya yang panjang. Terkenal dengan arsitektur bangunannya yang mengagumkan, Yunani membuat kagum dunia sehingga namanya terkenal sebagai salah satu tujuan pariwisata wisatawan ke Benua Eropa. Negara inilah yang merupakan salah satu tempat lahirnya budaya dunia barat bagi sebagian negara-negara Eropa. 


Dalam dunia olahraga, Yunani dikenal sebagai negara yang tampil sebagai pemenang kejuaraan Euro 2004. Negara para dewa ini tampil sebagai peserta non unggulan namun mampu mengalahkan tuan rumah Portugal di final.


Saat ini populasi Yunani berjumlah sekitar 11 juta jiwa. Diperkirakan 16,5 juta turis mengunjungi Yunani setiap tahun. Hal ini menyebabkan sektor pariwisatanya menjadi sektor penyumbang terbesar devisa negaranya, hingga 16% dari Gross Domestic Product. Berkembang sebagai negara Republik, Yunani menempati urutan ke-12 negara tujuan pariwisata internasional.


Krisis Yunani ini sejatinya dimulai pada 2009. Saat itu negara dengan pendapatan per kapita 22.000 dolar AS ini ditimpa resesi dan mengalami krisis moneter dan hutang. Di saat hutang Yunani terus menumpuk, Yunani menjadi negara tuan rumah sebagai penyelenggara Olimpiade 2004 menguras keuangan negara. Kemewahan saat penyelenggaraan Olimpiade 2004 ini akhirnya harus dibayar mahal oleh Yunani dan sebagian kalangan menganggap ini sebagai penghamburan uang negara. Permasalahan ekonomi Yunani mengurangi kepercayaan para investor terhadap sektor keuangan di negara ini. Krisis negara ini menjadi lebih parah ketika para investor menarik investasinya dari sektor pariwisata, sehingga sektor penyumbang devisa utama berkurang. Sampai saat ini, masalah utama krisis ekonomi Yunani adalah budaya korupsi. Hal diperparah oleh kondisi ekonomi Benua Eropa yang mengalami kemunduran, sementara cadangan devisa negara Yunani kekeringan karena budaya korupsi di kalangan elite politiknya. Menurut data yang ada, Yunani termasuk negara peringkat ke-71 dari 180 negara dengan tingkat corruption perception index besar. Korupsi terbesar dilakukan oleh sektor pajak, mencapai 30% dari dana devisa utama. Sementara tingkat pengangguran penduduk Yunani bertambah sejak 2008 sehingga pajak penghasilan berkurang drastis.



Negara-negara Uni Eropa lainnya tentunya tidak bisa tinggal diam. Pada krisis Yunani sebelumnya, negara Eurozone ini mengadakan sistem perjanjian yang disebut Proposal Troika. Tujuannya untuk membantu Yunani menghadapi krisis ekonominya dengan memberikan tambahan pinjaman untuk membangun kembali perekonomian sehingga Yunani mampu menunjang kembali berbagai sektor untuk dapat menjalankan pemerintahannya. Namun kesempatan yang diberikan ini tidak dipergunakan dengan maksimal sehingga kondisi ekonomi Yunani tidak juga membaik, malah menambah jumlah hutang Yunani. Beberapa sumber menyebutkan pada 2009 hutang Yunani sudah mencapai 300 miliar euro.


Pendapatan domestik bruto Yunani turun hingga 25% dalam enam tahun terakhir. Data menyebutkan angka pengangguran naik dari 10 persen pada 2010 menjadi 25% pada Maret 2015, satu dari dua warga Yunani berusia 25 tahun tidak mempunyai pekerjaan. Saat ini krisis Yunani diperparah dengan penolakan persyaratan dana bailout oleh warga Yunani pasca referendum 5 Juli lalu. Perdana Menteri Yunani, Alexis Tsipras mengatakan akan mengajukan proposal baru yang dianggap lebih kredibel sementara 12 Juli ini diadakan KTT Uni Eropa. Perdana Menteri Tsipras dianggap masih akan melakukan negosiasi terhadap isi Proposal Troika. Dampaknya jika Yunani menerima atau menolak proposal ini baru ramai diperbincangkan. Diprediksikan jika Yunani tetap menolak proposal ini,  kemungkinannya adalah dikeluarkannya Yunani dari negara anggota Uni Eropa. Jika hal ini benar-benar terjadi, keadaan Yunani akan mirip dengan kondisi moneter Indonesia pada tahun 1998. Bedanya dengan kondisi Indonesia waktu itu, Yunani saat ini tidak mampu menyokong negaranya dengan cadangan devisa yang dimiliki. Sebaliknya jika Yunani menerima proposal ini, masalah baru akan timbul seperti bertambahnya jumlah hutang negaranya. Namun bagi negara Uni Eropa lainnya akan membawa keuntungan karena akan menyelamatkan nilai tukar Euro. Saat ini, nilai tukar Euro melemah dan menguatkan nilai tukar dolar AS.


Dampak krisis moneter Yunani ini tidak hanya akan dirasakan oleh negara-negara Uni Eropa. Lambat laun, pengaruh krisis Yunani dan krisis mata uang Euro secara umum akan dirasakan oleh negara-negara di Benua Amerika, bahkan Asia. Indonesia saat ini dalam posisi menunggu efek domino yang akan terjadi pasca krisis Yunani. Sektor industri Indonesia akan lebih dulu merasakan dampak efek domino ini. Menurut Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia I Kadek Dian Sutrisna Artha, yang dikutip dari bbc.com, mengatakan krisis ekonomi Yunani dalam jangka pendek akan memberi dampak terhadap pasar keuangan global, terutama nilai tukar Euro terhadap dolar AS yang menurun.


Menurut Badan Pusat Statistik 2015, neraca perdagangan Indonesia saat ini sedang meningkat. Namun jika kondisi nilai mata uang Euro menurun, maka nilai mata uang dolar AS akan menguat sehingga akan mempengaruhi Indonesia. Saat ini sektor industri Indonesia banyak bergantung pada belanja bahan baku impor. Jika ini terus terjadi, Indonesia akan mengalami pelemahan ekonomi domestik terutama di sektor industri manufaktur. Nilai bahan baku industri yang diimpor Indonesia akan naik, sehingga harga beli bahan baku dari luar mahal. Sementara itu jumlah produksi akan menurun karena harga bahan baku mahal. Kalau pun ada, barang hasil industri yang diekspor akan semakin mahal mengimbangi harga bahan baku yang meningkat. Hal ini mengakibatkan penurunan jumlah permintaan konsumen sehingga sektor industri Indonesia melemah. Kendati demikian, krisis yang dialami Yunani kemungkinan tidak akan dialami Indonesia karena sistem perbankan Indonesia pun masih kuat dan sehat; selain itu saat ini jumlah hutang Indonesia masih dalam kategori aman yaitu sekitar 30% dari Produk Domestic Bruto (PDB) sementara rata-rata defisit APBN mencapai 2% dari PDB.


Saat ini, utang luar negeri Yunani mencapai 360 miliar Euro atau sekitar Rp 5.345 triliun dan rasio utang terhadap PDB Yunani bahkan menembus 177%. Dari pengalaman krisis Yunani ini, Indonesia seharusnya bisa belajar bahwa negara maju sekalipun mungkin saja mengalami masalah yang disebabkan oleh budaya korupsi di tengah elite politiknya. Budaya korupsi tersebut telah mengerogoti moral para elite politik mereka. Walaupun dikenal sebagai cendikiawan bangsa yang seharusnya menjadi teladan secara moral, namun justru kalangan inilah yang merusak nilai-nilai budaya Yunani yang sudah dibangun selama berabad-abad. Hal ini juga yang menyebabkan selama dalam kurun waktu lima tahun terakhir banyak warga negara Yunani yang berimigrasi ke negara Eropa lainnya.


Bisa kita bayangkan apabila kasus serupa dialami oleh Indonesia yang memiliki populasi kurang lebih tiga puluh kali lipat dari populasi negara Yunani, elite politik yang seharusnya memikirkan masa depan bangsa lewat undang-undang yang disusun justru sibuk dengan memperkaya diri mereka dan mengutamakan kepentingan partai politik pengusung mereka. Jika hal itu tidak disadari oleh generasi sekarang, maka budaya korupsi di Indonesia akan terus berlanjut. Hal ini dapat menyebabkan masa depan bangsa Indonesia terancam suram karena masalah krisis ekonomi yang disebabkan oleh utang negara.


Tahun ini merupakan tahun ekonomi MEA, yaitu perdagangan bebas di dalam ruang lingkup negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Indonesia patut berbangga karena memiliki jumlah sumber daya manusia yang cukup besar dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Namun hal ini bisa menjadi masalah apabila SDM Indonesia tidak mampu bersaing secara global dengan SDM negara-negara ASEAN lainnya. Dari krisis Yunani ini, Indonesia seharusnya bisa belajar untuk memposisikan dirinya di dalam persaingan perdagangan bebas ASEAN. Indonesia bisa saja bersaing dalam perdagangan ekonomi bebas ASEAN bahkan dapat mengungguli negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura, Malaysia, Filipina, maupun Thailand, jika Indonesia mulai membenahi sistem pendidikan dan kesehatan supaya ada pemerataan maupun pemberatasan korupsi yang harus ditangani dengan serius oleh Pemerintah Indonesia.



Pelajaran lainnya yang bisa didapatkan dari krisis Yunani saat ini, pemerintah harus lebih bijak lagi dalam mengelola cadangan devisa Indonesia. Hal ini dapat kita bandingkan dengan kondisi cadangan devisa Yunani yang disalahgunakan oleh elite politiknya. Apalagi perilaku konsumtif masyarakat Indonesia berpotensi memicu pengambilan keputusan yang salah oleh pemerintah sehingga dapat mengakibatkan cadangan devisa negara berkurang atau bahkan habis. Sebagai contoh, barang impor Yunani yang jumlahnya jauh lebih besar dari nilai ekspornya. Impor Yunani mencapai 60 miliar dolar AS, sementara nilai ekspornya hanya 1.9 miliar dolar AS. Hal ini tentu akan menghabiskan cadangan devisa Yunani. Selain itu, utang Yunani yang menumpuk dan tidak bisa diperpanjang lagi menyebabkan negara ini terancam bangkrut. Mengapa hal ini penting bagi Indonesia? Karena dengan pola masyarakat yang cenderung konsumtif itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk menambah nilai impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan hal ini berakibat pada ketergantungan Indonesia terhadap produk impor negara lain.


Krisis Yunani ini tidak seharusnya membuat Indonesia takut menghadapi tantangan ekonomi global, namun hal ini justru membuat Indonesia mulai berbenah memperbaiki berbagai sektor sehingga dapat bersaing dalam pasar global ASEAN, bahkan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Distruptive Innovation... Positive or Negative??

POSITIF  atau negatif memang sangat relatif tergantung dari sisi mana kita melihatnya. Misalnya, kata agresif, yang dalam suatu hubu...